cerita nabi |
Wafatnya
Abu Thalib
Abu Thalib
mulai sering mengalami sakit, semakin lama semakin berat. Akhirnya beliau
meninggal pada bulan Rajab tahun 10 kenabian, setelah 6 bulan dari peristiwa
pemboikotan.
Dalam
riwayat yang shahih disebutkan bahwa ketika beliau sekarat, Rasulullah Saw
datang menghampirinya, saat itu ada Abu jahal di sisinya.
Rasulullah
Saw berkata:
“
Wahai pamanku, ucapkan : Laa Illaaha Illallah, kalimat yang dapat aku gunakan
untuk membelamu di sisi Allah”.
Abu Jahal
dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata:
“
Wahai Abu Thalib, apakah engkau membenci agama Abdul Muthalib?”.
Berulang-
ulang mereka katakana itu, hingga akhir ucapan Abu Thalib adalah:
“
Saya tetap berada di dalam agama Abdul Mutholib”.
Mendengar
itu Rasulullah Saw bersabda: “ Aku akan mintakan ampunan untukmu, selagi aku
tidak dilarang dalam hal itu”.
Lalu
turunlah ayat Allah Ta’ala:
cerita nabi |
“
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang- orang yang beriman memintakan ampun
(kepada Allah) bagi orang- orang musyrik, walaupun orang- orang musyrik itu
adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang- orang
musyrik itu, adalah penghuni neraka jahannam”. (QS. At-Taubah: 113)
Allah
juga menurunkan ayat-Nya:
cerita nabi |
“
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat member petunjuk kepada orang yang kamu
kasihi tapi Allah memberi petunjuk kepada yang dia kehendaki”. (QS. Al-Qhashash:56)
Demikianlah,
Abu Thalib mati tetap dalam kekafirannya, meskipun selama hidupnya dia selalu
membela dan melindungi Rasulullah Saw.
Wafatnya
Khadijah radhiallahuanha
Dua bulan
setelah wafatnya Abu Thalib, berikutnya wafat pula Ummul Mu’minin; Khadijah al-
Kubro radhiallahuanha. Beliau meninggal pada tahun 10 kenabian, di usia 65
tahun, sedangkan pada saat itu Rasulullah Saw berusia 50 tahun.
Khadijah
adalah istri yang selalu mendampingi Rasulullah Saw di masa- masa terberat awal
dakwah beliau, dia korbankan diri dan hartanya demi kelangsungan dakwah beliau.
Hal
tersebut terungkap dari ucapan Rasulullah Saw sendiri tentang Khadijah:
cerita nabi |
“
Dia beriman kepadaku ketika orang- orang kufur kepadaku, dia membenarkanku
ketika orang- orang mendustakan, dia menyerahkan hartanya untukku ketika orang-
orang mencegah hartanya untukku, dan Allah memberiku keturunan lewatnya,
sementara yang lainnya tidak mendapatkannya”.
Tumpukan
Kesedihan
Dua kejadian
di atas sangat besar pengaruhnya dalam diri Rasulullah Saw, meningkat kedua
orang tersebut selam ini sangat besar artinya dalam kehidupan Rasulullah Saw. Sementara
itu di sisi lain tekanan dan ancaman orang- oang kafir semakin menjadi- jadi
karena kini tidak ada lagi Abu Thalib yang suka melindunginya.
Melihat
hal tersebut Rasulullah Saw mencoba hijrah ke Thaif dengan harapan di sana
mendapat sambutan baik tidak seperti yang dia dapatkan di Mekkah. Namun kenyataannya
penduduk Thaif memperlakukannya dengan kasar melebihi dari apa yang dia
dapatkan dari kaumnya.
Begitu
pula apa yang dialami oleh para sahabat beliau merekapun mendapatkan perlakuan
semakin keras dari orang- orang kafir Quraisy.
Karena
itu, tahun ini dalam sejarah kehidupan Rasulullah Saw dikenal sebagai Tahun
Duka Cita (‘Aamul Huzni).
Menikah
dengan Saudah radhiallahuanha
Pada
bulan syawwal tahun ke 10 kenabian, Rasulullah Saw menikah dengan Saudah binti
Zum’ah. Beliau telah lama masuk Islam dan termasuk yang hijrah ke Habsyah pada
gelombang kedua. Awalnya dia seorang istri dari Sakran bin Amr yang juga telah
masuk Islam dan turut pula hijrah bersamanya ke Habasyah. Namun beliau
meninggal di sana. Maka setelah Saudah kembali ke Mekkah dan telah selesai masa
Idahnya, Rasulullah Saw segera menikahinya.
Maka
Saudah merupakan istri pertama yang dinikahinnya setelah wafatnya Khadijah
radhiallahuanha.
Sumber
: Kitab Ar-Rahiqul-Makhtum